Sunday, January 23, 2011

Efek Samping Jam Kerja Fleksibel

Memiliki jam kerja yang fleksibel memang cukup menyenangkan. Anda bisa mengaturnya sendiri tanpa perlu menuruti peraturan jam kerja yang ketat. Tetapi, hal ini bukan tanpa risiko.

Menurut penelitian yang dilakukan tim dari University of Toronto, Kanada, seseorang yang memiliki jam kerja fleksibel, batas antara pekerjaan, dan kehidupan pribadinya makin tipis. Hal itu terutama terkait perannya dalam keluarga.

Penelitian yang dilakukan Profesor Scott Schieman dan mahasiswa program doktor, Marissa Young, menghasilkan kesimpulan tersebut setelah melakukan tanya jawab pada beberapa partisipan.

Pertanyaan yang diajukan antara lain, "Siapa yang biasanya memutuskan kapan Anda memulai dan menyelesaikan pekerjaan setiap hari? Apakah ada orang lain atau bisa Anda putuskan sendiri dalam batas-batas tertentu? Atau Anda benar-benar bebas untuk memutuskan kapan Anda mulai dan selesai bekerja?".

"Kami bertanya-tanya tentang potensi stres dari jadwal yang bisa dikontrol sendiri. Apa yang terjadi jika waktu kerja yang fleksibel mengaburkan batas antara peran sosial," kata Schieman, seperti dikutip dari Times of India.

Untuk menggambarkannya, tim peneliti mendeskripsikan dua hal ini. Pertama, seseorang dengan jadwal kerja yang lebih bebas cenderung bekerja di rumah dan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Mereka mencoba untuk melakukan tugas rumah tangga dan pekerjaan pada saat bersamaan ketika berada di rumah.

Kedua, mereka yang menjalani peran lebih besar dalam hal rumah tangga, cenderung melaporkan tingkat stres lebih tinggi karena kerap menghadapi konflik antara batas pekerjaan dan keluarga. Hal itu ternyata menjadi sumber utama stres.

Menurut Schieman, menemukan kondisi yang bisa memprediksi konflik pekerjaan dan keluarga adalah sangat penting. Itu karena secara bukti ilmiah menunjukkan hubungan antara kondisi mental yang kurang sehat bisa memengaruhi kondisi fisik. (art)
• VIVAnews
baca lebih lanjut...

Awas, Berbohong Bisa Sebabkan Stroke

Berbohong memang selalu mendatangkan perasaan bersalah dan membuat gelisah. Bukan hanya membuat Anda tidak tenang, berbohong juga bisa membawa dampak buruk bagi kesehatan. Tahukah Anda, bahwa beberapa komplikasi kesehatan bisa Anda alami karena berbohong, salah satunya adalah stroke.

Menurut Saundra Dalton-Smith M.D, penulis "Set Free to Live Free", sebagai permulaan, dengan berbohong sebenarnya Anda melepaskan hormon stres. Ini adalah hormon yang juga memicu apa yang disebut "Fight or Flight Response".

"Berbohong dapat meningkatkan stres hormon yang bisa mengakibatkan degup jantung dan tarikan nafas meningkat, pencernaan melemah, serat saraf dan otot menjadi sangat sensitif," kata Smith seperti dikutip dari Bettyconfindential.com.

Hal ini mungkin tidak berpengaruh serius. Tapi, jika sering terjadi, dapat menyebabkan penyakit seperti jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif. Itu karena tekanan darah di jantung meningkat ketika Anda berbohong.

"Ini dapat mengancam kehidupan jika terjadi dalam waktu yang lama," kata Dr Smith.

Itulah sebabnya tes detektor kebohongan atau Polygram bisa akurat, karena mengukur tekanan darah. Berbohong sesekali memang tidak langsung membuat Anda terkena stroke. Tetapi, jika kebohongan menjadi kebiasaan, itu bisa jadi bencana bagi Anda dalam hal risiko stroke yang semakin besar.

Menurut hasil penelitian yang dipublikasi dalam "Journal Consciousness and Cognition" oleh Departemen Psikologi Ghent University di Belgia, selalu mengatakan kebenaran membuat seseorang makin sulit melakukan kebohongan. Dan, sebaliknya makin sering orang berbohong, makin sulit ia mengatakan kebenaran.

Mereka yang berbohong setiap hari atau telah menyimpan rahasia besar selama bertahun-tahun mungkin akan lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan dibandingkan yang jarang berbohong.

Seiring dengan komplikasi dari tekanan darah tinggi, "pembohong kronis" juga dapat berisiko terkena penyakit yang sama dengan seseorang yang mengalami stres kronis, seperti kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Dengan pemikiran ini, berbohong tampaknya memang berisiko tinggi bukan hanya bagi kesehatan psikis tetapi juga fisik. Sebisa mungkin jangan menyakiti seseorang secara emosional dengan membohonginya. Mengatakan kebenaran dan bersikap jujur adalah hal terbaik yang dapat Anda lakukan untuk kesehatan diri sendiri.

"Daripada terjebak dalam lingkaran setan kebohongan, yang terbaik adalah konsisten mempraktikkan kebenaran," kata Dr Smith. (art)
• VIVAnews
baca lebih lanjut...

  © Lucu Ria 2010 The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP